Sabtu, 14 Januari 2017

Curug Gomblang

Hello guys,

Apa kabar nih? Aku sih berharap kalian baik-baik aja ya, meskipun mungkin ada ya ga baik karena masih tenggelam dalam kisah masa lalu. Oke, back to topic, aku disini mau nyeritain pengalaman liburan waktu tahun baru kemarin. Aku pulang kampung ke kampung halaman di Kabupaten Banyumas lebih tepatnya di Kecamatan Kalibagor. Di Banyumas lagi ada tren yaitu munculnya tempat wisata baru yang patut buat dikunjungin, salah satunya adalah Curug Gomblang. Curug Gomblang ini tergolong tempat wisata yang baru yang ada di Banyumas karena baru ngehitz sekitar pertengahan tahun 2016. Aku ga begitu paham rute untuk menuju ke curug ini, karena aku cuma ngikutin bapak sama mbakku yang naik motor di depan (ya meskipun mereka kesasar-sasar, tapi ya udah lah ngikut aja). Menurut wikipedia curug ini berada di Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas (tolong koreksi kalo salah, hehe). Aku ke sini dalam rangka liburan akhir tahun, dan diajakin ortu buat ke sini, kami sekeluarga  pergi ke curug naik motor karena lebih hemat dan medannya juga ekstrem (sebenernya sih karena belum punya mobil pribadi). Jalan untuk menuju ke curug ini sih aku rasa cukup susah ya buat dijangkau, soalnya harus melewati perkampungan warga dulu dan ga ada plang penunjuk jalan yang cukup jelas. Jadi kalo mau kesini perlu didampingin sama orang asli Banyumas, kalo ga ya yang udah pernah ke sini. 

Tiket masuk ke objek wisata ini adalah Rp 5000 dan parkir motor Rp 2000 (kalo ga salah). Di sini disediain selfie deck yang tiketnya Rp 2500 dan nanti setelah membayar tiket, kalian bakalan dikasih nomer antrian sama petugasnya. Trus nunggu dipanggil (kaya di puskesmas), kasih aja hp kalian ke mas-masnya dan mas-masnya dengan senang hati akan motoin kalian. Kalian tinggal bergaya aja di atas selfie deck, tapi inget alas kaki harus dilepas ya, takut kotor mungkin atau mungkin ada batas sucinya? Ditempat wisata ini kalian bisa menikmati segarnya alam pegunungan dan air curug yang seger banget. Untuk menuju ke curug ini, kalian harus menuruni tangga curam yang terbuat dari batu, kalo turunnya sih ga berasa cape, tapi naiknya itu loh ENGAP boss. Setelah sekitar beberapa menit menuruni tangga, sampailah kita ke curug. Disekar curugnya ada sungai dimana ada batu-batu besar, dan bisa dijadiin buat spot foto-foto. Disekitar curug itu juga disediain bangku-bangku dari bambu dan juga beberapa tempat sampah. Ada juga warung yang menyediakan makanan khas Banyumas yaitu mendoan dan beberapa makanan dan minuman lainnya. Makanannya juga cukup murah dan terjangkau. Disana juga disediain mushola dan juga kamar kecil. 

Ada beberapa hal yang perlu gue kritisi disini yaitu jalan yang masih jelek. Aku akuin jalan buat menuju ke lokasi curug emang jelek banget. Dimana jalannya cuma disusun dari batu-batu yang kaya dibuat pondasi rumah, dan kalo naik motor bisa miring kiri, miring kanan ga jelas. Dan jalan selanjutnya yang ditempat parkir itu malah dari tanah liat yang kalo ujan jadi lembek banget. Tapi kata mas-mas parkir sih tahun ini jalannya mau diperbaiki soalnya pak bupati sama bu bupati udah survei ke situ. Berwisata disini cukup menyenangkan dan tidak menguras kocek. Aku cukup bahagia bisa berlibur ke sini, karena gue bisa menikmati segarnya alam pegunungan. 

Sekian ulasan perjalanan dari saya, ditunggu komennya. Makasih. 

Estetika Nusantara


ESTETIKA
           Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh seorang filsuf minor bernama A.G. Baumgarten (1714-1762) sebagain disiplin kajian “filsafat seni” dalam karya berjudul Meditasi Filosofis tentang beberapa Hal Berkaitan dengan Puisi (1715). Istilah ini dipungut dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “kemampuan melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu ‘estetika’ dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni. Tetapi karena karya seni tidak selalu ‘indah’ seperti dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang khusus yang benar-benar seni. Dan lahirlah apa yang dinamakan ‘filsafat seni’. Jadi, perbedaan antara estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat dan keindahan alam dan karya seni, sedang filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni. Estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni, sedangkan filsafat seni hanya merupakan bagian dari estetika yang khusus membahas karya seni. Estetika sebagai filsafat seni, merupakan pendekatan atau kesenian yang mengabstraksikan aspek-aspek partikular karya untuk sampai pada kesimpulan tentang masalah-masalah universal dalam kesenian. Sementara itu, filsafat seni membahas kreativitas seniman, membahas nilai-nilai seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai konteks seni dan terakhir mengenai resepsi publik seni. Dari kesemua pendapat tersebut dapat dirumuskan secara singkat bahwa estetika merupakan cabang dari filsafat kesenian.

ESTETIKA NUSANTARA
        Estetika Nusantara atau Indonesia pra-modern adalah bagian dari filsafat Nusantara. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang disebut filsafat Indonesia. Dalam hal ini apa yang disebut filsafat adalah apa yang kita kenal sebagai filsafat Barat yang panjang sejarahnya itu. Pengertian filsafat yang demikian itu merujuk pada uraian verbal yang akademik dan tertulis tentang hakikat segala sesuatu. Dalam ukuran itu, jelas Indonesia tidak memilikinya kecuali produk masyarakat kraton, baik zaman Hindu maupun zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, yang umumnya berisi ajaran esosentrik mengenai mistik dan takhayul. Budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa.  Cara berpikir budaya mitis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada budaya mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam di luar dirinya, dan dari sana menemukan jati dirinya.
           Di lingkungan masyarakat Petalang di wilayah Riau daratan, seekor harimau yang menerkam manusia tidak boleh dibunuh begitu saja. Tetapi harimau itu harus diadili, seperti manusia. Kalau dia menerkam karena kesalahan manusia korbannya, maka harimau itu tidak boleh dibunuh. Tetapi, kalau peristiwa itu akibat kejahatan harimau, maka dia boleh dibunuh beramai-ramai. Cerita demikian itu masih berlaku pula di lingkungan masyarakat sekitar sungai besar yang penuh buaya. Logika budaya mitis berbeda dengan logika budaya ontologis. Logika mitos dan dongeng rakyat berbeda dengan logika novel modern. Dalam logika mitis, adalah wajar apabila keringat dewa menetes dari tubuhnya dapat menjelma menjadi manusia. Itu karena di dunia para dewa, di dunia sana, segalanya omnipoten, serba mungkin, sedang dunia manusia bersifat fana. Di dunia sana, para dewa hidup aseksual, sedang di dunia ini kehidupan baru harus muncul secara seksual. Maka, wajar saja apabila tanpa isteri, tanpa seks, tanpa bersetubuh, makhluk dunia sana dapat melahirkan, baik dewa jenis lelaki maupun perempuan. Itu sama sekali tidak menyalahi logika budaya mitis, karena ada kesatuan antara seluruh ciptaan, seluruh kosmos, termasuk antara dunia abadi nun disana dengan dunia manusia. Cara berpikir demikian itulah yang melahirkan karya seni yang kita warisi hingga sekarang ini. Dan, karya seni itu tak dapat dipahami dengan pendekatan ontologis. Dunia mitis memiliki estetikanya sendiri berbeda dengan dunia ontologis. Pertunjukan wayang kulit bukan hanya sekadar permainan teater tanpa kaitan religius. Pada mulanya, pertunjukan wayang kulit hanya dapat diiringi oleh gamelan slendro (salendro). Gamelan pentatonis ini erat hubungannya dengan filsafat mistik Tantrayana, yang prinsipnya secara bertahap meninggalkan dunia inderawi manusia untuk dapat lepas menyatukan dirinya dengan rasa sejati, yakni peluluhan dengan ‘Zat Abadi’. Pada masa lalu, seorang dalang wayang kulit, sebelum memainkan koleksi wayangnya, harus dikurung dahulu dalam kurungan ayam yang terbungkus kain. Di dalam kurungan itulah dia menyatukan dirinya dengan dunia kosmos wayang, dan baru kemudianlah dia dapat bertindak sebagai pawang, sebagai perantara untuk menghadirkan makhluk dunia sana ke dunia manusia. Inilah sebabnya, pertunjukan wayang kulit, beberapa puluh tahun yang lampau, tak dapat diselenggarakan kalau tidak ada alasan upacara peralihan (misalnya, anak-anak menjadi dewasa dalam perhelatan khitanan, lajang menjadi berkeluarga dalam perhelatan perkawinan, keadaan kotor atau salah menjadi bersih dan tertib kosmos dalam perhelatan ruwatan).

ESTETIKA GUNUNGAN WAYANG

          Gunungan atau kayon dalam pertunjukan wayang memegang peranan sentral. Bentuk gunungan dapat dilihat secara struktur menjadi tiga bagian, yakni puncak, bagian tengah, dan bagian paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi). Bagian puncak berbentuk meruncing ke atas, yang dimulai dari bagian tengah yang disebut gemukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk). Kemudian, didapatkan bagian struktur bawah yang tipis dan rata. Dalam beberapa gunungan, bagian bawah ini kadang hanya digambarkan di bagian tengahnya saja.
Hampir semua gunungan yang dikenal sekarang memiliki struktur bentuk semacam itu. Bagian paling bawah, yang hanya digambarkan amat tipis dan kecil, hampir tidak menarik perhatian, adalah lambang dunia fana. Inilah dunia manusia. Di bagian struktur ini tidak terdapat ragam hias apa pun. Kalau pun ada ragam hias, amatlah sederhana, tidak serumit bagian-bagian struktur yang lain. Lambang dunia material yang wadag ini sudah barang tentu, tidak perlu penjelasan lebih jauh, karena setiap manusia normal tentu mengetahai apa yang disebut hidup di dunia ini.
Hidup manusia di dunia terdiri dari aspek jasmani dan aspek roh, keduanya menyatu dan tak terpisahkan. Roh yang dari badan dengan sendirinya mengakhiri hidup di dunia yang serba material ini. Badan tanpa roh adalah mati. Roh tanpa badan tetap ada, hanya sudah tidak di dunia material ini. Meskipun demikian, karena manusia itu kesatuan antara roh dan badan, apakah mungkin roh dalam diri manusia memiliki alamnya sendiri dan hukum-hukumnya sendiri? Bagaimana roh manusia ini dapat memasuki alam roh? Inilah pertanyaan mistik. Dan melalui mistik pula jawaban itu didapatkan, antara lain lewat pertunjukan wayang, lewat upacara, dan lewat metode-metode mistik.Ada kepercayaan bahwa selama manusia masih hidup roh manusia mampu memasuki alam roh yang berada di luar alam wadag manusia, alam material. Gambaran tentang kemungkinan ini digambarkan dengan jelas lewat struktur bentuk dan wujud gunungan wayang. Dengan demikian, gunungan wayang adalah lambang atau gambarn dari dunia mistik manusia, dunia yang mengantarkan manusia memasuki alam di luar alam material dunia ini. Gunungan adalah roh itu sendiri. Gunungan adalah mistik. Gunungan adalah gambaran pengalaman transdental manusia.
        Manusia yang ingin memasuki pengalaman mistik dan menyatu dengan alam rohaninya digambarkan melalui wujud dan strukturnya dalam gunungan. Ini sejalan dengan pertunjukan wayang itu sendiri yang juga punya struktur alur cerita mistis. Wayang, candi, tarian, karya sastra kuno, adalah medium atau dunia tengah untuk mencapai dunia atas atau dunia roh. Karya seni adalah benda wadag yang mengandung nilai-nilai empirik transendental. Dan sebaliknya, karya seni wadag itu disucikan dengan muatan-muatan transendental yang bersifat kerohanian.
Seperti sudah diuraikan, bagian terbawah gunungan adalah palemahan. Ini struktur dunia bawah, dunia manusia dalam hidup yang konkret ini. Bagian ini digambarkan secara datar dan amat tipis, seperti tak terhiraukan dalam penggambarannya. Dari sinilah manusia berangkat untuk memasuki pengalaman mistisnya.  
        Struktur kedua adalah genukan dan lengkeh, yakni bagian menonjol dari wujud gunungan yang kebulat-bulatan. Bagian ini menjorok keluar sehingga memiliki ukuran leher yang paling besar dalam gunungan. Inilah gambaran dunia tengah dunia tengah atau medium kerohanian itu. Struktur tengah ini diisi dengan gambaran bangunan rumah beratap dengan kedua pintu tertutup. Atau kadang diisi dengan gambar kolam empat persegi atau gabungan antara kolam dan bangunan rumah. Bangunan rumah kecil tertutup ini selalu dijaga oleh dua raksasa penjaga yang mengingatkan orang akan arca dwarapala atau raksasa penjaga pintu masuk candi-candi di Jawa. Ini menunjukkan bahwa bangunan itu suci, seperti halnya ketika orang mau memasuki kamar candi. Inilah alasannya mengapa di arah bawah bangunan digambarkan tangga masuk bertingkat. Sementara itu, di kiri kanan bangunan digambarkan sayap-sayap dua ekor burung garuda yang mengembang, yang mendesak bagian gunungan itu menyembul ke kiri dan ke kanan sebagai genukan. Inilah lambang penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Garuda yang kadang digambarkan lengkap dengan kepala dan kadang hanya sayapnya saja merupakan kendaraan roh manusia untuk memasuki dunia atas atau dunia roh.
Inilah lambang penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Garuda yang kadang digambarkan kendaraan roh manusia untuk memasuki dunia atas atau dunia roh. Alasan adanya kolam persegi empat dalam gunungan adalah kolam ini mengingatkan orang akan arti ‘air kehidupan’ dalam lakon Bimasuci atau Dewaruci.
         Di lautanlah Bima bertemu dengan jati dirinya, dengan rohaninya, dalam bentuk Bima Kecil. Dan Bima yang tubuhnya tinggi besar itu mampu memasuki telinga Bima Kecil atau Bima Suci yang ukurannya mini. Seperti halnya candi, laut atau air adalah juga sarana manusia untuk menemui dunia atas yang rohaniah itu. Jadi, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa struktur tengah gunungan adalah struktur dunia tengah manusia dan roh. Inilah dunia medium tanpa perantara. Dunia sementara dan dunia abadi roh. Untuk ini pun ada tingkatan-tingkatan metodenya yang digambarkan dalam wujud tingkatan berundak menuju pintu bangunan yang tertutup. Setiap gunungan akan mengisi struktur tengah ini dengan gambaran-gambaran yang sesuai dengan konsep medium mistik masing-masing pencipta atau perupanya. Dengan demikian, pemaknaan gambar-gambar di situ harus mengacu kepada konsep-konsep mistik yang beraneka ragam di Jawa.
Struktur teratas gunungan adalah bagian puncak yang dimulai dari batas teratas sayap garuda. Atap bangunan struktur atas ini diakhiri dengan puncaknya yang meruncing berupa kuncup bunga. Ada beberapa gambar dalam struktur teratas gununga. Pertama, yang mencolok, adalah gambar batang pohon lurus ke atas dengan cabang-cabang yang dari bawah melebar dan semakin ke atas semakin mengecil sesuai dengan meruncingnya bentuk puncak ini. Akar pohon besar ini juga sering digambarkan tepat di atas bangunan atap struktur dunia tengah. Inilah gambar poros kosmos atau axis mundi yang dikenal merata hampir di seluruh umat manusia. Inilah pohon penghubung dunia manusia dengan dunia rohani atas.
         Struktur puncak, pada bagian batang pohonnya, digambari dengan kepala raksasa yang lidahnya menjulur keluar yang disebut banaspati. Dalam bangunan candi, kepala raksasa yang mulutnya menganga dan melebar ini disebut kala, dan diletakkan tepat di atas pintu masuk kamar candi. Ini melambangkan kesucian. Struktur dunia atas ini adalah dunia sakral. Inilah dunia rohani manusia. Dan dunia rohani manusia ini juga ada tingkatannya, yang paling bawah dari gambar pohon sering digambari dengan dua ekor binatang yang saling berhadapan, biasanya banteng dan macan. Inilah unsur antagonistik atau konflik dalam kosmos. Juga jiwa manusia.
        Keselarasan unsur-unsur antagonistik kosmos ini terjadi kalau orang berpegangan pada pohon kehidupan atau poros kosmos yang sifatnya transendental. Banteng dan macan adalah binatang buas yang ada di dalam batin manusia yang harus diselaraskan untuk mencapai harmoni rohaniahnya. Kalau ini sudah tercapai, rohani manusia dapat meningkat ke tahap rohani berikutnya yang lebih tinggi. Inilah sebabnya mengapa pada dahan berikutnya dari pohon kehidupan tersebut digambarkan binatang dunia atas pepohonan, yakni monyet. Di kanan dan kiri dahan pohon itu hanya ada sepasang monyet, tak ada konflik lagi. Dan pada dahan yang serupa, yang harmonis, tak ada konflik lagi. Inilah tingkat yang lebih halus, lebih subtil, lebih tinggi daripada tingkat kerohanian manusia. Dan pada puncaknya kita menemukan tunas bunga yang meruncing. Tunas bunga menggambarkan awal kehidupan sekaligus akhir kehidupan. Disebut awal kehidupan karena pada tingkat ini manusia akan memasuki hidup baru yang abadi, yang mutlak, yang sama sekali abstrak. Disebut akhir kehidupan karena terdapat di bagian paling ujung gunungan, sedangkan gunungan itu sendiri dimulai dari palemahan (bumi) yang ada di bagian paling bawah.
           Jelaslah bahwa gunungan dalam wayang kulit merupakan lambang kosmosmistis. Gunungan mempunyai makna spiritual yang mendalam yang menyangkut sendi-sendi terdalam rohani manusia, meskipun dalam praktiknya gunungan hanya digunakan untuk menggambarkan perbukitan, hutan, ombak lautan, angin pembawa prahara, tanjakan, lereng jurang. Tetapi fungsi utama gunungan adalah penggambaran kosmologi dunia mikro dan makro manusia. 

KESIMPULAN         
           Estetika merupakan cabang dari filsafat kesenian. Indonesia menganut budaya mitis yaitu dimana ada kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa.  Secara esensial, gunungan mengandung unsur primodial budaya. Di zaman prasejarah pra-Hindu-Budha, gunung dan hutan adalah alam roh, alam dunia atas, alam dunia yang mengatasi dunia empiris sehari-hari manusia di dunia ini. Pada zaman berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia, konsep dunia roh itu diisi secara rinci oleh filsafat-filsafat India tua. Di sini terjadi perubahan mendasar tentang dunia atas. Kalau dalam agama-agama asli Indonesia, dunia roh didatangkan ke dunia manusia dengan tujuan menyelamatkan kepentingan sehari-hari manusia, jadi untuk kepentingan duniawinya, maka pada zaman Hindu-Budha, hubungan dengan dunia roh itu dilakukan demi kepentingan rohani manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusia justru harus meninggalkan kodrat jasmaniahnya, kodrat duniawinya, untuk memasuki kodrat lain yaitu kodrat rohani. Dalam zaman Islam, konsep Hindu-Budha itu tetap hidup dalam gunungan, meskipun konsep dasar agama ini adalah keselarasan antara kepentingan rohani dan kepentingan duniawi. Itulah makna simbolik dari bentuk gunungan wayang. 









DAFTAR PUSTAKA
Sumardjo, Jakob dkk. 2010. Prosiding Seminar Nasional Estetika Nusantara. Surakarta: ISI press Surakarta.
Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni. Bandung: Matahari.
Surjaya, Martin. 2015. Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel.
Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.