Estetika Nusantara
ESTETIKA
Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh
seorang filsuf minor bernama A.G. Baumgarten (1714-1762) sebagain disiplin
kajian “filsafat seni” dalam karya berjudul Meditasi
Filosofis tentang beberapa Hal Berkaitan dengan Puisi (1715). Istilah ini
dipungut dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “kemampuan
melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk
pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya
pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika
adalah kebenaran. Sejak itu ‘estetika’ dipakai dalam bahasan filsafat mengenai
benda-benda seni. Tetapi karena karya seni tidak selalu ‘indah’ seperti
dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang khusus yang
benar-benar seni. Dan lahirlah apa yang dinamakan ‘filsafat seni’. Jadi,
perbedaan antara estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja.
Estetika mempersoalkan hakekat dan keindahan alam dan karya seni, sedang
filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang
disebut seni. Estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni, sedangkan
filsafat seni hanya merupakan bagian dari estetika yang khusus membahas karya
seni. Estetika sebagai filsafat seni, merupakan
pendekatan atau kesenian yang mengabstraksikan aspek-aspek partikular karya
untuk sampai pada kesimpulan tentang masalah-masalah universal dalam kesenian.
Sementara itu, filsafat seni membahas kreativitas seniman, membahas nilai-nilai
seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai konteks
seni dan terakhir mengenai resepsi publik seni. Dari kesemua pendapat tersebut
dapat dirumuskan secara singkat bahwa estetika merupakan cabang dari filsafat kesenian.
ESTETIKA
NUSANTARA
Estetika Nusantara atau Indonesia pra-modern adalah
bagian dari filsafat Nusantara. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang
disebut filsafat Indonesia. Dalam hal ini apa yang disebut filsafat adalah apa
yang kita kenal sebagai filsafat Barat yang panjang sejarahnya itu. Pengertian
filsafat yang demikian itu merujuk pada uraian verbal yang akademik dan
tertulis tentang hakikat segala sesuatu. Dalam ukuran itu, jelas Indonesia tidak
memilikinya kecuali produk masyarakat kraton, baik zaman Hindu maupun zaman
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, yang umumnya berisi ajaran esosentrik
mengenai mistik dan takhayul. Budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dan
makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia
manusia dengan dunia roh dan dewa. Cara
berpikir budaya mitis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada
budaya mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam di luar dirinya, dan
dari sana menemukan jati dirinya.
Di lingkungan masyarakat Petalang di wilayah
Riau daratan, seekor harimau yang menerkam manusia tidak boleh dibunuh begitu
saja. Tetapi harimau itu harus diadili, seperti manusia. Kalau dia menerkam
karena kesalahan manusia korbannya, maka harimau itu tidak boleh dibunuh.
Tetapi, kalau peristiwa itu akibat kejahatan harimau, maka dia boleh dibunuh
beramai-ramai. Cerita demikian itu masih berlaku pula di lingkungan masyarakat
sekitar sungai besar yang penuh buaya. Logika budaya mitis berbeda dengan
logika budaya ontologis. Logika mitos dan dongeng rakyat berbeda dengan logika
novel modern. Dalam logika mitis, adalah wajar apabila keringat dewa menetes
dari tubuhnya dapat menjelma menjadi manusia. Itu karena di dunia para dewa, di
dunia sana, segalanya omnipoten, serba mungkin, sedang dunia manusia bersifat
fana. Di dunia sana, para dewa hidup aseksual, sedang di dunia ini kehidupan
baru harus muncul secara seksual. Maka, wajar saja apabila tanpa isteri, tanpa
seks, tanpa bersetubuh, makhluk dunia sana dapat melahirkan, baik dewa jenis
lelaki maupun perempuan. Itu sama sekali tidak menyalahi logika budaya mitis,
karena ada kesatuan antara seluruh ciptaan, seluruh kosmos, termasuk antara
dunia abadi nun disana dengan dunia manusia. Cara berpikir demikian itulah yang
melahirkan karya seni yang kita warisi hingga sekarang ini. Dan, karya seni itu
tak dapat dipahami dengan pendekatan ontologis. Dunia mitis memiliki
estetikanya sendiri berbeda dengan dunia ontologis. Pertunjukan wayang kulit bukan
hanya sekadar permainan teater tanpa kaitan religius. Pada mulanya, pertunjukan
wayang kulit hanya dapat diiringi oleh gamelan slendro (salendro). Gamelan
pentatonis ini erat hubungannya dengan filsafat mistik Tantrayana, yang
prinsipnya secara bertahap meninggalkan dunia inderawi manusia untuk dapat
lepas menyatukan dirinya dengan rasa sejati, yakni peluluhan dengan ‘Zat
Abadi’. Pada masa lalu, seorang dalang wayang kulit, sebelum memainkan koleksi
wayangnya, harus dikurung dahulu dalam kurungan ayam yang terbungkus kain. Di
dalam kurungan itulah dia menyatukan dirinya dengan dunia kosmos wayang, dan
baru kemudianlah dia dapat bertindak sebagai pawang, sebagai perantara untuk
menghadirkan makhluk dunia sana ke dunia manusia. Inilah sebabnya, pertunjukan
wayang kulit, beberapa puluh tahun yang lampau, tak dapat diselenggarakan kalau
tidak ada alasan upacara peralihan (misalnya, anak-anak menjadi dewasa dalam
perhelatan khitanan, lajang menjadi berkeluarga dalam perhelatan perkawinan,
keadaan kotor atau salah menjadi bersih dan tertib kosmos dalam perhelatan
ruwatan).
ESTETIKA
GUNUNGAN WAYANG
Gunungan atau kayon dalam pertunjukan wayang
memegang peranan sentral. Bentuk gunungan dapat dilihat secara struktur menjadi
tiga bagian, yakni puncak, bagian tengah, dan bagian paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi). Bagian puncak
berbentuk meruncing ke atas, yang dimulai dari bagian tengah yang disebut gemukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk). Kemudian, didapatkan
bagian struktur bawah yang tipis dan rata. Dalam beberapa gunungan, bagian
bawah ini kadang hanya digambarkan di bagian tengahnya saja.
Hampir semua gunungan yang dikenal sekarang memiliki
struktur bentuk semacam itu. Bagian paling bawah, yang hanya digambarkan amat
tipis dan kecil, hampir tidak menarik perhatian, adalah lambang dunia fana.
Inilah dunia manusia. Di bagian struktur ini tidak terdapat ragam hias apa pun.
Kalau pun ada ragam hias, amatlah sederhana, tidak serumit bagian-bagian
struktur yang lain. Lambang dunia material yang wadag ini sudah barang tentu, tidak perlu penjelasan lebih jauh,
karena setiap manusia normal tentu mengetahai apa yang disebut hidup di dunia
ini.
Hidup manusia di dunia terdiri dari aspek jasmani
dan aspek roh, keduanya menyatu dan tak terpisahkan. Roh yang dari badan dengan
sendirinya mengakhiri hidup di dunia yang serba material ini. Badan tanpa roh
adalah mati. Roh tanpa badan tetap ada, hanya sudah tidak di dunia material
ini. Meskipun demikian, karena manusia itu kesatuan antara roh dan badan,
apakah mungkin roh dalam diri manusia memiliki alamnya sendiri dan
hukum-hukumnya sendiri? Bagaimana roh manusia ini dapat memasuki alam roh?
Inilah pertanyaan mistik. Dan melalui mistik pula jawaban itu didapatkan,
antara lain lewat pertunjukan wayang, lewat upacara, dan lewat metode-metode
mistik.Ada kepercayaan bahwa selama manusia masih hidup roh
manusia mampu memasuki alam roh yang berada di luar alam wadag manusia, alam
material. Gambaran tentang kemungkinan ini digambarkan dengan jelas lewat
struktur bentuk dan wujud gunungan wayang. Dengan demikian, gunungan wayang
adalah lambang atau gambarn dari dunia mistik manusia, dunia yang mengantarkan
manusia memasuki alam di luar alam material dunia ini. Gunungan adalah roh itu
sendiri. Gunungan adalah mistik. Gunungan adalah gambaran pengalaman
transdental manusia.
Manusia yang ingin memasuki pengalaman mistik dan
menyatu dengan alam rohaninya digambarkan melalui wujud dan strukturnya dalam
gunungan. Ini sejalan dengan pertunjukan wayang itu sendiri yang juga punya struktur
alur cerita mistis. Wayang, candi, tarian, karya sastra kuno, adalah medium
atau dunia tengah untuk mencapai dunia atas atau dunia roh. Karya seni adalah
benda wadag yang mengandung nilai-nilai empirik transendental. Dan sebaliknya,
karya seni wadag itu disucikan dengan muatan-muatan transendental yang bersifat
kerohanian.
Seperti sudah diuraikan, bagian terbawah gunungan
adalah palemahan. Ini struktur dunia
bawah, dunia manusia dalam hidup yang konkret ini. Bagian ini digambarkan
secara datar dan amat tipis, seperti tak terhiraukan dalam penggambarannya.
Dari sinilah manusia berangkat untuk memasuki pengalaman mistisnya.
Struktur kedua adalah genukan dan lengkeh, yakni
bagian menonjol dari wujud gunungan yang kebulat-bulatan. Bagian ini menjorok keluar
sehingga memiliki ukuran leher yang paling besar dalam gunungan. Inilah
gambaran dunia tengah dunia tengah atau medium kerohanian itu. Struktur tengah
ini diisi dengan gambaran bangunan rumah beratap dengan kedua pintu tertutup.
Atau kadang diisi dengan gambar kolam empat persegi atau gabungan antara kolam
dan bangunan rumah. Bangunan rumah kecil tertutup ini selalu dijaga oleh dua
raksasa penjaga yang mengingatkan orang akan arca dwarapala atau raksasa
penjaga pintu masuk candi-candi di Jawa. Ini menunjukkan bahwa bangunan itu
suci, seperti halnya ketika orang mau memasuki kamar candi. Inilah alasannya
mengapa di arah bawah bangunan digambarkan tangga masuk bertingkat. Sementara
itu, di kiri kanan bangunan digambarkan sayap-sayap dua ekor burung garuda yang
mengembang, yang mendesak bagian gunungan itu menyembul ke kiri dan ke kanan
sebagai genukan. Inilah lambang
penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Garuda yang kadang digambarkan
lengkap dengan kepala dan kadang hanya sayapnya saja merupakan kendaraan roh
manusia untuk memasuki dunia atas atau dunia roh.
Inilah lambang penghubung antara dunia manusia dan
dunia roh. Garuda yang kadang digambarkan kendaraan roh manusia untuk memasuki
dunia atas atau dunia roh. Alasan adanya kolam persegi empat dalam gunungan
adalah kolam ini mengingatkan orang akan arti ‘air kehidupan’ dalam lakon
Bimasuci atau Dewaruci.
Di lautanlah Bima bertemu dengan jati dirinya,
dengan rohaninya, dalam bentuk Bima Kecil. Dan Bima yang tubuhnya tinggi besar
itu mampu memasuki telinga Bima Kecil atau Bima Suci yang ukurannya mini.
Seperti halnya candi, laut atau air adalah juga sarana manusia untuk menemui
dunia atas yang rohaniah itu. Jadi, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa
struktur tengah gunungan adalah struktur dunia tengah manusia dan roh. Inilah
dunia medium tanpa perantara. Dunia sementara dan dunia abadi roh. Untuk ini
pun ada tingkatan-tingkatan metodenya yang digambarkan dalam wujud tingkatan
berundak menuju pintu bangunan yang tertutup. Setiap gunungan akan mengisi
struktur tengah ini dengan gambaran-gambaran yang sesuai dengan konsep medium
mistik masing-masing pencipta atau perupanya. Dengan demikian, pemaknaan
gambar-gambar di situ harus mengacu kepada konsep-konsep mistik yang beraneka
ragam di Jawa.
Struktur teratas gunungan adalah bagian puncak yang
dimulai dari batas teratas sayap garuda. Atap bangunan struktur atas ini
diakhiri dengan puncaknya yang meruncing berupa kuncup bunga. Ada beberapa
gambar dalam struktur teratas gununga. Pertama, yang mencolok, adalah gambar
batang pohon lurus ke atas dengan cabang-cabang yang dari bawah melebar dan
semakin ke atas semakin mengecil sesuai dengan meruncingnya bentuk puncak ini.
Akar pohon besar ini juga sering digambarkan tepat di atas bangunan atap
struktur dunia tengah. Inilah gambar poros kosmos atau axis mundi yang dikenal merata hampir di seluruh umat manusia.
Inilah pohon penghubung dunia manusia dengan dunia rohani atas.
Struktur puncak, pada bagian batang pohonnya,
digambari dengan kepala raksasa yang lidahnya menjulur keluar yang disebut banaspati. Dalam bangunan candi, kepala
raksasa yang mulutnya menganga dan melebar ini disebut kala, dan diletakkan
tepat di atas pintu masuk kamar candi. Ini melambangkan kesucian. Struktur
dunia atas ini adalah dunia sakral. Inilah dunia rohani manusia. Dan dunia
rohani manusia ini juga ada tingkatannya, yang paling bawah dari gambar pohon
sering digambari dengan dua ekor binatang yang saling berhadapan, biasanya
banteng dan macan. Inilah unsur antagonistik atau konflik dalam kosmos. Juga
jiwa manusia.
Keselarasan unsur-unsur antagonistik kosmos ini
terjadi kalau orang berpegangan pada pohon kehidupan atau poros kosmos yang
sifatnya transendental. Banteng dan macan adalah binatang buas yang ada di
dalam batin manusia yang harus diselaraskan untuk mencapai harmoni rohaniahnya.
Kalau ini sudah tercapai, rohani manusia dapat meningkat ke tahap rohani
berikutnya yang lebih tinggi. Inilah sebabnya mengapa pada dahan berikutnya
dari pohon kehidupan tersebut digambarkan binatang dunia atas pepohonan, yakni
monyet. Di kanan dan kiri dahan pohon itu hanya ada sepasang monyet, tak ada
konflik lagi. Dan pada dahan yang serupa, yang harmonis, tak ada konflik lagi.
Inilah tingkat yang lebih halus, lebih subtil, lebih tinggi daripada tingkat
kerohanian manusia. Dan pada puncaknya kita menemukan tunas bunga yang
meruncing. Tunas bunga menggambarkan awal kehidupan sekaligus akhir kehidupan.
Disebut awal kehidupan karena pada tingkat ini manusia akan memasuki hidup baru
yang abadi, yang mutlak, yang sama sekali abstrak. Disebut akhir kehidupan
karena terdapat di bagian paling ujung gunungan, sedangkan gunungan itu sendiri
dimulai dari palemahan (bumi) yang
ada di bagian paling bawah.
Jelaslah bahwa gunungan dalam wayang kulit merupakan
lambang kosmosmistis. Gunungan mempunyai makna spiritual yang mendalam yang
menyangkut sendi-sendi terdalam rohani manusia, meskipun dalam praktiknya
gunungan hanya digunakan untuk menggambarkan perbukitan, hutan, ombak lautan,
angin pembawa prahara, tanjakan, lereng jurang. Tetapi fungsi utama gunungan
adalah penggambaran kosmologi dunia mikro dan makro manusia.
KESIMPULAN
Estetika
merupakan cabang dari filsafat kesenian. Indonesia menganut budaya mitis yaitu
dimana ada kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan
yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Secara esensial, gunungan mengandung unsur
primodial budaya. Di zaman prasejarah pra-Hindu-Budha, gunung dan hutan adalah
alam roh, alam dunia atas, alam dunia yang mengatasi dunia empiris sehari-hari
manusia di dunia ini. Pada zaman berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia,
konsep dunia roh itu diisi secara rinci oleh filsafat-filsafat India tua. Di
sini terjadi perubahan mendasar tentang dunia atas. Kalau dalam agama-agama
asli Indonesia, dunia roh didatangkan ke dunia manusia dengan tujuan
menyelamatkan kepentingan sehari-hari manusia, jadi untuk kepentingan
duniawinya, maka pada zaman Hindu-Budha, hubungan dengan dunia roh itu
dilakukan demi kepentingan rohani manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusia
justru harus meninggalkan kodrat jasmaniahnya, kodrat duniawinya, untuk
memasuki kodrat lain yaitu kodrat rohani. Dalam zaman Islam, konsep Hindu-Budha
itu tetap hidup dalam gunungan, meskipun konsep dasar agama ini adalah
keselarasan antara kepentingan rohani dan kepentingan duniawi. Itulah makna
simbolik dari bentuk gunungan wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumardjo, Jakob dkk. 2010. Prosiding Seminar Nasional Estetika Nusantara. Surakarta: ISI press
Surakarta.
Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni. Bandung: Matahari.
Surjaya, Martin. 2015. Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel.
Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.